Daftar Blog Saya

Sabtu, 25 Februari 2012

Awasi pelecehan dari dunia maya!

MELIHAT pesatnya perkembangan teknologi internet beberapa tahun belakangan ini, siapa tak kenal situs-situs seperti Facebook, Twitter, Youtube, Myspace dan masih banyak lagi. Si kecil punya akun di jejaring sosial tersebut? Sejauh mana Moms mengawasi aktivitasnya di dunia maya? Waspada cyberbullying!
 
Tahukah Anda bahwa 1 dari 10 orangtua
di dunia mengatakan anak mereka pernah menjadi korban pelecehan dan penghinaan melalui dunia maya. Berkisar 60 persen orangtua mengatakan cyberbullying dialami anak-anak melalui situs jejaring sosial seperti facebook, 42 persen melalui ponsel dan 40 persen melalui chat room. Demikian hasil survei yang dilakukan Ipsos, perusahan riset global yang didirikan di Perancis akhir tahun 2011 lalu.


Ipsos mensurvei sebanyak 18.687 warga di 24 negara, termasuk Indonesia. Orangtua di Indonesia termasuk yang memiliki kesadaran paling tinggi terhadap cyberbullying, menyusul orangtua di Australia, Polandia, Swedia, Amerika Serikat dan Jerman.
 
Cyberbullying
 
Selama ini kita sudah sering mengenal bullying, seperti dikatakan Dr E Kristi Poerwandari, psikolog yang juga pendiri dan pengurus Yayasan Pulih yang menangani intervensi trauma dan penguatan psikososial, bullying dapat diartikan sebagai perilaku-perilaku yang menunjukkan agresi, penundukan, perendahan, atau mencoba menekan pihak lain seperti meledek berlebihan, bicara agresif, memanggil dengan sebutan-sebutan yang tidak enak, dan komentar lain yang sifatnya merendahkan.   
 
Dalam cyberbullying, perilaku-perilaku tersebut berpindah ke dunia maya. Jadi cyberbullying adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok anak secara sengaja melakukan intimidasi, penghinaan, pelecehan, memberikan ancaman, mempermalukan seorang atau sekelompok anak melalui media elektronik atau media maya seperti situs jejaring sosial, chat room, blog, telepon seluler, atau perangkat komunikasi mobile lainnya.
 
Kristi menambahkan, terkadang saat anak menulis status di Facebook atau Twitter, mereka mungkin tidak menyadari kalau apa yang mereka tulis itu cyberbullying. Bahkan bisa jadi terlontar kalimat seperti ini, “Ah, ini kan sudah biasa, Ma. Cuma gini doang kok!”
 
“Di situ sangat mudah mereka membuat label-label kepada temannya yang lain. Si A nyebelin, si B nerd, si C suka membuat kesal orang dan lain-lain. Kemudian mereka menganggap hal itu menjadi wajar sebagai percakapan sehari-hari. Padahal tentu saja itu tidak baik!” tandas Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
 
Dampak pada Korban
 
Umumnya korban cyberbullying akan menunjukkan sikap kikuk, agak pendiam, dan ketika ditanya ia tidak bercerita terlalu panjang/detil.
 
“Jarang kita menemukan korban yang sangat terbuka. Mereka yang cenderung lebih outspoken cenderung bicara atau menulis lebih frontal. Bahasa lisan maupun tulisan cenderung sama dalam kehidupan sehari-hari, mungkin juga cara menulisnya kikuk. Yang demikian lebih cenderung menjadi korban daripada pelaku cyberbullying. Bahkan pada kasus-kasus khusus, sebagian dari korban bullying bisa saja kedepannya akan menjadi pelaku kekerasan. Selain itu korban akan rendah diri, kebingungan, penerimaan diri menjadi rendah dan merasa inferior dibandingkan orang lain, semakin menarik diri, tidak fokus pada tugas atau sulit berkonsentrasi. Akibatnya, secara umum prestasinya menurun drastis,” terang Kristi.
 
Otoritas Orangtua
 
Lebih lanjut Kristi mengatakan, orangtua bukan hanya perlu menjadi teman tapi juga tokoh otoritas bagi anak. Otoritas orangtua memberikan perasaan nyaman pada anak, karena anak belajar dengan jelas mengenai apa yang baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas. Jadi, orangtua perlu mengambil kembali otoritasnya, bukan dalam arti mendisiplin anak secara kasar, tapi memberi kejelasan mengenai baik buruk.
 
Hal ini penting karena bisa memberikan pembelajaran dan pengertian baik buruk pada anak. Kuncinya, disiplin dengan kasih sayang, serta memahami apa yang terjadi pada anaknya.
 
“Orangtua pasti terkejut jika mendapati anaknya dibully di dunia maya oleh teman-teman anaknya. Dan ketika orang sangat kaget, kecenderungannya apa? Ia akan marah! Orangtua kaget karena mereka sangat mencintai anaknya, cemas, lalu berujung pada kemarahan. Itu adalah bentuk respons yang paling umum, tapi sekaligus paling buruk! Pertama, jangan lekas marah. Panik boleh, hanya saja jangan menampilkannya dalam bentuk marah ke anak. Ketika panik, tenangkan diri dahulu, ambil napas panjang, dekatilah anak ketika Anda sudah agak tenang. Bertanyalah secara baik, yang membuat anak merasa nyaman. Jangan sampai anak merasa seperti disudutkan. Bersikap sangat tenang, tetap menjadi tokoh otoritas yang dapat memunculkan rasa aman untuk anak. Gali dulu faktanya dari anak secara baik. Jika melibatkan teman satu sekolah, bicarakan secara baik-baik dengan guru di sekolah, bagaimana agar dapat duduk bersama dengan orangtua dari pelaku untuk mendapatkan win-win solution,” saran Kristi. (Sumber: Mom & Kiddie)


sumber : okezone.com

Tidak ada komentar: